Penggunaan Obat Saat Puasa Ramadhan

penggunaan obat di bulan ramadhan

Memasuki bulan Ramadhan, saya teringat saat praktek kerja di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Beberapa pasien yang datanya saya ambil, adalah pasien dengan diabetes yang mengalami hipoglikemi (kadar gula darah rendah). Mereka masuk rumah sakit dalam keadaan lemas, gemetar, dan ternyata setelah dicek pasien tersebut puasa.

Bayangkan pasien puasa meminum obat antidiabetes yang fungsinya menurunkan kadar gula darah. Di hari-hari biasa, pasien ini makan sesuai pola dietnya. Lalu mendadak mereka puasa tanpa ada perubahan dalam aturan pakai atau waktu pemberian obat antidiabetes. Akibatnya sudah bisa diduga. Kadar gula darah menurun drastis hingga pasien kehilangan kesadaran. Jika tidak cepat-cepat ditangani atau diketahui, wah, nyawa pasien bisa melayang.

Kewajiban Puasa Ramadhan

Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang sudah baligh (ditandai dengan menstruasi atau mimpi basah). Dalam keadaan tertentu, seperti sedang melakukan perjalanan jauh (musafir), sedang sakit, hamil atau menyusui, Islam memberi keringanan untuk mengganti puasa di hari lain. Begitu juga dengan perempuan yang mengalami menstruasi atau nifas.

Untuk lansia (lanjut usia) dan pasien dengan penyakit kronis (misal diabetes), bila puasa dapat membahayakan kesehatannya, maka diperbolehkan mengganti dengan fidyah (memberi makan fakir miskin)

Obat yang Tidak Membatalkan Puasa

Obat-obat dengan bentuk sediaan non oral seperti injeksi (suntik), inhalasi (obat yang dihirup sehingga langsung menuju paru-paru sebagai organ sasaran obat), suppositoria ( lewat anus), dan tetes mata atau tetes telinga diperbolehkan selama puasa. Bagaimana dengan obat yang ditelan atau digunakan secara oral?

Obat yang diminum 3-4 kali sehari

Aturan pakai penggunaan obat memang bermacam-macam. Mulai dari 1x – 3x sehari. 4x dan 5x sehari juga ada. Sementara itu aturan pakai ini terkait jarak tiap minum yang seharusnya sama. Misal 3x sehari bukan berarti yang penting minum obat 3x bebas waktunya kapan saja. Interval waktu yang dimaksud adalah tiap 8 jam.

Interval pemberian obat ini berkaitan dengan ketersediaan obat di dalam darah. Obat yang jumlah di dalam darahnya tepat (di atas batas minimal memberikan efek, atau di jumlahnya berada pada range terapi) maka obat tersebut dapat memberikan efek yang diinginkan. Interval pemberian obat ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat obat. Salah satunya yaitu dipengaruhi oleh waktu paruh obat. Obat yang waktu paruhnya panjang, maka interval minum obatnya panjang (misal cukup 1x sehari). Sedangkan obat yang waktu paruhnya pendek, maka interval minum obatnya juga pendek. Dengan kata lain, obat perlu diminum lebih sering agar ketersediaannya dalam darah tetap memberikan efek.

Sedangkan untuk jenis obat misalnya sustained release /lepas lambat (obat yang pelepasannya berangsur-angsur, secara terus menerus sehingga kadar obat dalam darah tetap di range terapi untuk memberikan efek) atau long acting /aksi panjang (formulasi obat yang berefek lebih lama dengan aturan pakai biasanya cukup 1x sehari). Obat-obat jenis ini berupa unit dosis tunggal yang zat aktifnya lepas secara terus-menerus. Dengan begitu, pasien tidak perlu berkali-kali minum obat dalam sehari.

Ketika puasa Ramadhan tiba, interval minum obat tiap 8 jam tidak bisa dilakukan lagi. Akibatnya apa? Jika pasien memaksakan diri untuk minum obat dengan interval yang berbeda-beda (misal minum obat ketika buka puasa jam 6 malam, sebelum tidur jam 11 malam, sahur jam 4 pagi), maka ada waktu dimana obat menumpuk (interval terlalu cepat hanya selisih 5 jam) sehingga bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Lalu ada waktu dimana interval berikutnya terlalu panjang selisih 14 jam) sehingga kadar obat sudah terlanjur turun. Akibatnya obat menjadi tidak berefek. Apalagi bila obatnya adalah antibiotik. Duh, sama saja akan menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik. Terutama untuk antibiotik yang time dependent (kadar obat dalam darahnya tergantung waktu pemberian)

Oleh karena itu, solusi yang direkomendasikan adalah memilih obat dengan formula aksi panjang. Misalnya saja obat sustained release. Selain itu, bisa juga mengubah regimen dosis menjadi 1 atau 2x sehari. Contoh pada pasien dengan hipertensi yang biasanya meminum kaptopril 2-3x sehari dapat meminta penggantian obat menjadi lisinopril 1x sehari.

Untuk penyesuaian regimen ini, pasien harus berkonsultasi dengan dokter yang merawatnya. Jika tidak memungkinkan, sementara pasien sangat membutuhkan obat tersebut, maka berlaku prinsip risk and benefit sehingga disarankan tidak puasa Ramadhan. Pasien bisa mengganti puasanya di lain waktu ketika sudah sembuh, atau membayar fidyah bila tidak memungkinkan mengganti puasa.

Pasien dengan Pengobatan Jangka Pendek

Bagi penyakit yang hanya membutuhkan pengobatan jangka pendek, seperti antibiotik untuk infeksi atau obat antinyeri golongan NSAID (NonSteroidal Anti-Inflammatory Drug, misal: ibuprofen, asam mefenamat, natrium diklofenak, dll), sebaiknya dipilih obat yang regimennya 1x sehari. Contohnya untuk antinyeri, daripada meminum asam mefenamat 3x sehari, lebih direkomendasikan obat yang pemberiannya 1x sehari seperti meloksikam atau piroksikam.

Alternatif lain adalah dengan mengganti bentuk sediaan obat. Misalnya dalam bentuk patch. Bentuk sediaan yang ditempelkan di kulit jelas membuat pasien tetap bisa berpuasa tanpa khawatir obatnya tidak berefek atau mengakibatkan efek yang tidak diinginkan hanya karena interval pemberian obat yang tidak sesuai. Obat antinyeri bentuk patch biasanya diberikan pada pasien yang tidak mempan dengan obat oral. Misalnya untuk nyeri kronik pada pasien kanker.

1. Pasien Infeksi Bakteri

Sebagai contoh pengobatan jangka pendek pada kasus infeksi adalah pasien paska infeksi akut saluran pernapasan atas, seperti sakit tenggorokan berat, secara kasatmata diperbolehkan untuk menjalankan puasa Ramadhan. Tetapi jika pasien ini diresepkan antibiotik dengan aturan pakai 3 atau 4x sehari, maka ia tidak bisa puasa (karena alasan yang sudah saya tulis di atas).

Oleh karena itu, agar pasien tetap bisa puasa, pasien dapat diberikan antibiotik long acting/aksi panjang. Misalnya co-trimoxazole yang hanya perlu diminum tiap 12 jam. Atau azitromisin yang interval minum obatnya cukup 1x sehari. Regimen alternatif ini dapat diresepkan oleh dokter, jika bakteri penyebab infeksinya dapat dibasmi dengan antibiotik pengganti.

2. Pasien dengan Migrain

Pasien dengan migrain harus waspada terhadap pencetus penyakitnya. Penderita migrain harus selalu makan sahur, dan tetap terhidrasi sewaktu puasa (jangan melakukan aktivitas yang dapat mengeluarkan banyak keringat), dan hindari udara yang panas atau matahari yang menyengat jika bisa.

Pasien dengan Pengobatan Jangka Panjang atau Penyakit Kronis

obat antihipertensi saat puasa

Untuk kondisi khusus yang membutuhkan pengobatan jangka panjang seperti penyakit Parkinson, Jantung, dan Tiroid, ada regimen dosis yang direkomendasikan di saat puasa Ramadhan.

Penggantian rute pemberian juga dapat membantu pasien untuk puasa. Sebagai contoh, pasien yang survive dari angina pektoris ringan akan mendapat manfaat dari penggunaan gliseril trinitrat bentuk patch dibandingkan tablet sublingual (diletakkan di bawah lidah). Obat dalam bentuk patch artinya zat aktif langsung masuk ke dalam aliran darah melalui kulit sehingga tidak membatalkan puasa. Tapi contoh ini tetap harus didiskusikan dengan dokter yang merawat dan mungkin hanya bisa dilakukan pada pasien tertentu.

Contoh penyakit kronis lainnya adalah diabetes dan hipertensi. Saya akan bahas satu persatu ya.

1. Pasien Diabetes

Penggunaan obat untuk pasien diabetes saat puasa dapat dibaca di artikel ini ya.

2. Pasien Hipertensi

Pasien dengan hipertensi juga perlu menjaga agar dirinya tidak dehidrasi, selalu mengecek tekanan darahnya secara rutin, dan mengetahui tanda-tanda hipotensi seperti pusing dan kepala terasa ringan.

Pada pasien hipertensi regimen dosis juga perlu sesuaikan. Misalnya saja pada pasien yang meminum obat diuretik. Dosis obat seharusnya dikurangi untuk menghindari dehidrasi, dan formulasi sustained release (lepas lambat) dapat diberikan satu kali sehari sebelum makan menjelang subuh.

Obat diuretik memang paling baik diminum pagi hari karena terkait fungsi ginjal. Selain itu, saat pagi pasien juga tidak tidur sehingga tidak ada masalah jika harus buang air kecil.

Aturan Pakai Obat Sebelum atau Sesudah Makan

aturan minum obat saat puasa

Ada obat yang penyerapannya dipengaruhi oleh makanan. Obat yang disarankan untuk diminum sebelum makan berarti penyerapannya lebih baik saat lambung kosong. Sebaliknya, obat yang disarankan untuk diminum sesudah makan, biasanya penyerapannya lebih baik saat ada makanan. Atau bisa menyebabkan iritasi lambung sehingga keberadaan makanan membantu mengurangi efek iritasi tadi.

Jika aturannya sebelum makan maka obat bisa diminum pada saat sahur (30 menit sebelum makan) atau pada saat buka puasa (30 menit sebelum makan atau 2 jam sesudah makan). Waktu minum obat harus konsisten. Misal 1x sehari sebelum makan, pasien memilih minum obat sebelum makan sahur, ya hari-hari selanjutnya juga diminum di waktu tersebut. Kecuali jika di etiket dituliskan aturan lain seperti malam hari atau pagi hari. Maka pasien menyesuaikan dengan etiket. Misalnya saja obat-obat kolesterol yang sebaiknya diminum malam hari, maka pasien bisa minum obat dua jam sesudah buka puasa. Secara konsisten di hari selanjutnya juga di waktu yang sama.

Sementara itu, jika aturan pakainya adalah setelah makan, maka obat bisa diminum pada saat sahur (5-10 menit setelah makan besar). Atau pada saat buka puasa (5-10 menit setelah berbuka puasa dengan makan besar). Dengan kata lain, lambung terisi oleh makanan.

penggunaan obat saat puasa ramadhan

Kalau boleh saya menyimpulkan, Islam memberikan keringanan kepada orang sakit dalam menjalankan puasa selama bulan suci Ramadhan. Pasien boleh berpuasa jika keadaannya memungkinkan. Dalam hal ini, tentu tetap dibutuhkan penyesuaian dosis, penggantian regimen atau bentuk sediaan obat. Obat yang dipilih adalah yang sama efektifnya dengan obat sebelumnya.

Pasien muslim yang ingin berpuasa, tetap harus memberitahu dokter sehingga puasanya berada dibawah pengawasan tenaga medis, baik dokter, apoteker, dan nakes lainnya. Keluarga pasien juga perlu mendampingi dan mengawasi pasien selama berpuasa.

Jika dokter tidak mengizinkan pasien untuk berpuasa dikarenakan kesehatannya justru terganggu, maka pasien sebaiknya legowo dan bisa mengganti puasanya di lain waktu saat sudah sembuh. Bahkan dalam keadaan sakit yang tidak bisa sembuh, Islam meringankan dengan membolehkan membayar fidyah saja.

Semoga tulisan saya bermanfaat ya, dan ibadah puasa Ramadhan kita lancar. Untuk pasien yang ingin berpuasa, jangan lupa berkonsultasi dengan dokter.

Referensi :
Kelly Grindrod, BScPharm, ACPR, PharmD, MSc and Wasem Alsabbagh, BScPharm, PhD. Managing medications during Ramadan fasting. Can Pharm J (Ott). 2017 May-Jun; 150(3): 146–149. Published online 2017 Apr 3. doi: 10.1177/1715163517700840

Saghir Akhtar, PhD, MRPharmS. Fasting during Ramadan: a Muslim pharmacist’s perspective. 10 November 2001. The Pharmaceutical Journal Vol 267 No 7173 p691-692

Ikawati, Zulliez. Bagaimana Cara Menggunakan Obat di Bulan Ramadhan. 1 Juli 2014. https://zulliesikawati.wordpress.com/2014/07/01/bagaimana-cara-menggunakan-obat-di-bulan-ramadhan/

30 thoughts on “Penggunaan Obat Saat Puasa Ramadhan

  1. Wahh betul juga ya, pas puasa itu bukan cuma soal range waktu minum obatnya, tapi juga efeknya jadi harus bener2 harus konsul dokter dulu ya sebelum menjalankan puasa daripada efeknya bahaya

    Like

  2. hmm.. ternyata buat yg lagi berobat jalan ada aturannya ya buat puasa. ya semoga aja kita selalu disehatkan agar bisa puasa dengan lancar dan gak perlu minum obat lagi. 🙂

    Like

  3. Jadi keinget beberapa kerabat, ada yang memang diabet dan harus tetep konsultasi dengan pengobatannya, makanannya pun lebih ketat lagi asupan masuknya. Kalau aku sering migren gitu sih kak, pantesan kemarin lemes luar biasa karena nggak sahur hihihi kudu tetep sahur yak jangan malas kalau sayang badan hihi

    Like

  4. Kebetulan saya baru pulang dari dokter dan dikasih obat 2 kali sehari. Jadi diminum waktu sahur dan buka. Sebenarnya kembali ke pasien sih, tiap orang pasti bisa merasakan kemampuan tubuhnya. Bisa puasa atau tidak dg kondisi penyakit yg diderita.

    Like

    • Iya, tapi kalau lansia kan kepekaan nya juga menurun:(. Padahal yang sakit kronis banyak lanjut usia.meski sekarang juga sudah mulai banyak anak muda kena diabet atau hipertensi

      Like

  5. Lumayan nih pembahasannya terutama untuk calon pekerja medis seperti saya. Tapi, entah kenapa akan lebih baik jika dibikin kayak series gitu ya kak. Jadinya lebih spesifik sih.

    Like

  6. hmm begitu yaa
    aku baru tahu, soalnya nggak punya kerabat atau saudara yang sedang sakit sampai bingung puasanya harus gimana
    ternyata sudah ada solusinya ya dari pakar kesehatan supaya tetap bisa puasa (Selama memungkinkan)
    makasih infonya Mbak Farida
    sangat membantu kalau ada teman yang curhat kebingungan soal puasa dan sakitnya

    Like

  7. Iyaya…kebayang orang lain di luaran sana yang hidupnya tergantung dengan obat.
    Jadi mesti banyak-banyak bersyukur dengan nikmatnya sehat.
    Jangan disalah gunakan dengan perbuatan yang sia-sia.

    Barakallahu fiik.

    Like

  8. Tapi menurutku kalo mereka2 para pasien yang mengalami penyakit diabetes lebih baik minta obat 2x sehari saja. Karna itu lebih baik tetap konsultasi obat sesuai dfn bulan puasa.

    Like

  9. wadaw,,, emakku punya penyakit diabetes juga, jadi pengen buru-buru nelfon emak, nanyain gimana dia minum obatnya selama puasa ini. kadang emang kebanyakan orang yang sakit mikirnya yang penting minum obat ya mbak, padahal ternyata ada aturannya supaya manfaat obat bisa sesuai dengan yang diharapkan.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.